Dalam kepekaan sukma seorang sufi, dunia yang sudah jadi nenek tua ini
kedengarannya sedang mengeluh. Tanahnya yang retak menggersang. Udara yang
jebuh oleh bisa kehidupan. Airnya yang amat keruh dengan daki-daki maksiat.
Tanamannya yang telah meranggas karena direnggut tiap saat. Musimnya yang tidak
beraturan lagi lantaran langitnya dijejali benda-benda tidak disukai atas nama
ilmu pengetahuan.
Nenek tua itu memekik, “oh aku !” lalu dengan pedih ia mengadu, bahkan
menuntut. “manusia ! kalian biang keladinya ! aku yang jadi korban ! sampai
hati kalian merusak diriku yang sudah renta ini ! tidak takutkah kalau aku mati
mendadak?”
Dan ia pun merenung panjang. Terbayang dibenak nenek tua itu berbagai kemesuman
yang disaksikannya. Terutama yang berkaitan dengan iman dan kepercayaan yang
sesat.
Terlalu amat, gumam sang nenek tua itu. Alangkah banyaknya manusia mempercayai
kekuatan makhluk halus, malah lebih banyak lagi yang takut dengan jin dan
sihir. Hingga mereka memenuhi badannya dengan ppenangkal-penangkal,
azimat-azimat, dan keris-keris bertuah. Tetapi mereka justru tidak percaya akan
keuatan penciptanya serta tidak takut kepadaNya. Mereka menghindari Tuhan,
milik dan penguasa seluruh kekuatan yang terdapat dialam semesta ini, termasuk
yang tersembunyi dalam makhluk-makhluk halus itu, seandainya mereka benar
mempunyai kekuatan.
Ada sebagian diantara manusia, tampak dengan khusu mebaca umul kitab sambil
mengucap ikrar : Iyyaa kana’ budu wa iyyaa kanas
ta’iinu
“hanya kepadamu tuhan kami beribadah dan hanya kepadamu (Tuhan)
kami minta pertolongan. (Al Fatihah, ayat 4).
Namun bila datang bala atau penyakit, mereka lari kekuburan “keramat”, ke
“meriam tua” atau ke “kereta kencana” ke “kuil” atau “gunung-gunung”. Mereka
memohon keselamatan, naik pangkat kepada dukun, bahkan pohon besar dan
batu-batu akik.
Yang jauh lebih buruk lagi, ada yang minta perlindungan kepada para titisan
“wali” atau keturunan “nabi” ada yang meminta isyarat kepada “orang yang tidak
waras” lantas semua yang dikatakan “orang suci” tentang obat penyakit, mereka
yakini kemanjurannya.
Hukum terutama halal dan haram, mereka singkirkan. Apakah dosa atau maksiat tidak
mereka acuhkan. Dan bila “sang embah” mengatakan, “kesulitan yang kamu alami
adalah buatan saudaram perbuatan saudaramu sendiri.” Mereka mempercayai
kebenarannya hingga pecahlah silaturahmi antara sanak dan keluarga.
Oh, kalian manusia bebal ! tidakkah pernah terlintas dibenak kalian bagaimana
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 6 : Yaaa
‘ayyuhalladziina aamanuu ‘iinjaaa ‘akum faasiqun binabaa ‘in fatabayyanuu an
tushiibuu qauman bijahaalatin fatush bihuu ‘alaa maa fa ‘altum naa dimiina.
“wahai segenap manusia beriman. Jika datang kepadamu orang fasik
membawa berita, teliti dulu kebenarannya. Jangan-jangan berita itu akan
menimbulkan bahaya atas sesuatu kaum tanpa kau sadari. Hingga akibatnya engkau
menyesali perbuatanmu sendiri.” (Al-Hujurat : 6)
Maka mewabahlah kegelisahan dimana-mana. Penyakit jiwa, tekanan batin, putus
asa, curiga mencurigai, dan dendam membara. Manusia berbondong-bondong lari
dari nafsu muthmainnah (kehendak yang baik) menuju pelukan nafsu amarah
(penghancur keburukan). Kiblat Tuhan ditinggalkan, kiblat setan dikibarkan,
neraka ditawarkan surga disembunyikan.
Tuhan dipersekutukan dengan majikan, atasaan, kekayaan, dan kedudukan. Allah
dikalahkan oleh suami, isteri, tunangan, dan anak-anak. Malah Dia juga
dibenamkan dibawah pujian dan sanjungan-sanjungan.
Orang lebih takut kepada penguasa dari pada Sang Maha Kuasa. Isteri lebih ngeri
dimarahi suami ketimbang dimurkai yang Maha Tinggi. Hartawan lebih takut
kehilangan kekayaan dari pada kehilangan iman. Ibadah lebih suka dipuji orang
daripada diganjar pahala tuhan. Rakyat lebih senang menyerah kepada
kesewenangan sesame manusia, ketimbang terhadap keadilan hukum Tuhan. Sanksi
dunia lebih ditakuti daripada sanksi hari pembalasan.
Padahal apabila tuhan menghendaki, segala upaya dan ikhtiar manusia yang konon
serba hebat, akan tak berdaya menghadapi kedahsyatan bencana alam. Barang kali
lantaran manusia sudah kehabisan kemanusiaannya ?
Perhatikanlah firman
Allah berikut ini :
Hattaaa idzaa khadzatil ardlu zukhru fahaa wa azayyanat wa
zhanna ahluhaaa annahum qaadiruuna ‘alaihaa ataahaa lailaan au naharaan faja
‘alnaa haa hasidaan ka ‘an lam taghna bil amsi, kadzaalika tufash shilul ayaati
liqau min yatafakkaruuna.
“sampai
tibalah masanya bumi mencabut semua isi dan hiasan-hiasannya. Sementara manusia
menyangka mereka masih berkuasa mutlak diatasnya. Datanglah tiba-tiba perintah
kami, malam atau siang hari. Lau kami jadikan bumi kerontang bagaikan padang
tandus, seolah-olah tadinya tidak ada apa-apa samasekali. Demikianlah
kami rincikan ayat-ayat kami bagi orang yang mau berfikir. “ (Yunus : 24)
Ya Allah, Ya Tuhan, aku ini nenek tua yang disebut dunia. Umurku sudah beraada
diujung tanduk. Kapankah penghuniku mau menerima kenyataan akan fana nya
kehidupan maya ? bahwa segala yang terwujud ini bakal sirna ? bahwa kerja
manusia mendirikan mercusuar kehebatannya, tidak akan berdayaapa-apa jika
kasihMu telah berubah menjadi murka?
Izinkanlah aku berkata kepada manusia, mengutip firmanmu dalam surat An-nahl :
112.
Wa dharaballaahu msyalaan qaryatan kaanat aaminatan mathma ‘innatan
yaa’ tiihaa rizqquhaa ghadaan min kulli makaanin fakafarat bi an ‘umil laahi fa
adzaa qahaallaahu libaasal juu’ni wal khaufi bimaa kaanuu yash na’uuna
“Allah
telah memberikan perumpamaan tentang suatu negeri kertarahardja yang tadinya
aman tentram, rezeki melimpah berdatangan dari segenap penjuru. Tetapi mereka
angkuh atas karunia Allah itu. Maka ditimpakanlah atas mereka selubung
kelaparan dan ketakutan, sebagai balasan terhadap semua yang mereka lakukan.”
(An-Nahl : 112).
Hari ini, saat ini, aku sang nenek tua bernama dunia, mengajak manusia untuk
bertaubat kepada Allah ya Rabbi ampunilah dosa segenap hambamu yang disebut
manusia itu, agar mereka terbebas dari ancaman azab dan siksaanMu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar